SANG MAHASISWA
Ia adalah seorang mahasiswa. Ia lahir di
pinggiran kota Bandung. Telah tiga tahun ia mengenyam pendidikan di
tengah ibu kota Jawa Barat, Bandung. Baginya Bandung adalah kota yang
sudah tak istimewa lagi. Ia begitu terobsesi dengan ibu kota Indonesia,
Jakarta. Hingga berulang kali ia meminta kepada orang tuanya agar bisa
pindah kuliah ke Jakarta. Namun keinginannya itu harus terbentur akan
kokohnya tekad orang tuanya yang inginkan ia menjadi seorang pengusaha
hebat. Ia terlanjur dibekukan hatinya untuk mampu meraih impiannya
hanyalah di Varis Van Java. Kebekuan hati yang telah di bentuk oleh
orang tua dan lingkungannya. Dengan situasi yang seperti itu, telah
memupuskan keinginannya untuk menuntut ilmu di Jakarta. Kota yang penuh
sesak dengan milyarder-milyarder bertarap nasional maupun internasional.
Kota yang dijejali manusia-manusia kardus. Manusia-manusia yang hanya
mampu membuka telapak tangan. Manusia-manusia miskin ibu kota. Dan di
kejamnya kota itu, sang mahasiswa telah memutuskan di dalam diri dan
sanubarinya. Di tiap langkah dan desah nafasnya. Ia telah menjatuhkan
pilihan untuk menjadi milyarder baru Indonesia, kendatipun waktu belum
memihaknya, tekadnya tetap kuat.
Pagi itu kota Bandung masih diselimuti
kabut tebal. Meskipun jam sudah menunjukan pukul enam, tidak serta merta
menjadikan ibu kota Jawa Barat itu lebih terang. Hawa dingin yang
disuguhkan Varis Van Java mampu menjadi alasan bagi para mahasiswa yang
tengah bermalas-malasan di atas kasurnya dan dibalik selimutnya. Alasan
mereka diperkuat dengan sebuah kata bernama “libur”. Hari itu memang
hari minggu, hari dimana mahasiswa kebanyakan menghabiskan waktunya
hanya untuk tidur seharian atau “membunuh” waktunya dengan jalan-jalan
di Mall serta ada pula yang berlama-lama di telpon menyambung kata
melalui udara bersama kekasih tercinta. Bahkan beberapa ada yang pulang
kampung.
Di salah satu kost kota Bandung,
Mahasiswa itu tinggal. Sebuah kost yang terbilang mewah bagi Mahasiswa
yang materi orang tuanya tak berlimpah. Ayahnya seorang PNS yang
bertugas di KUA Kecamatan yang memiliki sawah dan tanah yang cukup luas.
Sang ayah bersikukuh mengharuskan anaknya kuliah jurusan Bisnis
Manajemen di Universitas swasta terkemuka Bandung . Mahasiswa yang
bernama Deni Bungsu Permana itu, sama sekali tidak berontak dengan jalan
yang dibangun ayahnya, karena di aliran darahnya ada jiwa entrepreneurship sejati. Jiwa yang diperolehnya melalui bentukan orang tua, media, pengalaman, maupun yang didapatnya dari kampus.
Tempat kost yang telah tiga tahun ia
tempati bangunannya terdiri dari dua lantai. Masing-masing lantai
memiliki sepuluh kamar. Setiap kamar dihuni oleh dua orang mahasiswa.
Dan mahasiswa yang sekamar dengan Deni adalah Muhamad Rizal.
Rizal memanggil Deni dengan sebutan
Bungsu. Hal itu dikarenakan Deni adalah anak terakhir dikeluarganya.
Anak bungsu dari tiga bersaudara. Deni dan Rizal telah lama saling
mengenal. Mereka datang dari desa yang sama. Lebih dari itu, hari-hari
mereka selama bertahun-tahun dihabiskan di SD, SMP, dan SMA yang sama
pula. Namun demikian, ada perbedaan yang jauh dari cara pandang mereka.
Bila Deni ingin menjadi seorang bisnisman hebat, maka lain halnya dengan
Rizal yang bercita-cita menjadi seorang guru agama. Kini Rizal kuliah
di sebuah Universitas Islam di Bandung. Dalam perbedaan itulah terjalin
kebersamaan yang unik. Kebersamaan yang terjaga begitu lama. Begitu
berliku. Begitu penuh kejutan. Benar-benar sarat pertentangan luar
biasa.
Deni tengah berkutat dengan handphone-nya
yang sejak subuh berdering. Bisnis pulsa yang ia geluti sembari kuliah
memang sedang bersinar. Bersinar menerangi jiwa-jiwa muda nan bergejolak
untuk memadu cinta bermodal pulsa. Bagi seseorang yang berjiwa bisnis
seperti dirinya, peluang sekecil apapun adalah kesempatan yang tak
ternilai dua kali. Selain berjualan pulsa, ia pun aktif menawarkan
t-sert pada teman-teman kampus maupun teman kostnya. Begitulah deni, ia
yakin dengan usaha yang keras maka hasil yang didapat pun akan setimpal
dengan kerjanya. Ia yakin setelah lulus kuliah akan menjadi seseorang
yang sukses. Fikirnya, pihak kampus telah menjamin untuknya bekerja di
perusahaan bergengsi setelah ia lulus. Fikirnya lagi, beberapa tahun ia
akan bekerja di sana, kemudian setelah pengalamannya cukup dan modalpun
sudah di tangan, barulah impian besarnya diwujudkan. Menjadi pebisnis
sukses. Itulah pemikiran deni, sebuah pemikiran yang sama sekali berbeda
dengan orang yang ada di sebelahnya.
Dengan mata yang terfokus pada layar
handphone. Tangan beradu dengan huruf dan angka. Deni masih sempat
menggerakan mulutnya. Dari mulutnya keluar kata-kata yang sejak tadi tak
terdengar di ruangan itu.
“Seperti aku dong Zal, hidup mandiri tanpa harus membebani orang tua”
Deni teramat bangga dengan prestasi yang
diraihnya. Sebuah prestasi yang tak didapat oleh mahasiswa-mahasiswa
lain yang ia kenal. Sebuah prestasi yang tak dapat dielakkan lagi,
memang tujuan utama orang-orang kuliah. Prestasi mengumpulkan uang.
“Ya syukurlah Bungsu bisa hidup mandiri
di sini. Tidak seperti aku yang masih mengandalkan kiriman orang tua.
Aku belum bisa seperti kamu”
“Kamu bukan belum bisa, tapi belum mau.
Kamu biasa hidup enak dari kecil. Ayahmu seorang pedagang hebat dan
sukses. Sebenarnya aku heran pada ayahmu, dia tidak kuliah tapi kaya
raya”
“Itu artinya kuliah bukanlah satu-satunya cara untuk kaya”
Mata Deni yang sebelumnya difokuskan pada
layar handphone, kini dialihkan pada Rizal yang tengah serius
bersahabat dengan laptopnya.
“Lalu apa tujuanmu menghabiskan uang
orang tuamu untuk bayar kuliah, jika pada akhirnya uang itu tidak bisa
dikembalikan? Apa dengan hanya menjadi guru semuanya bisa kembali?
Sebenarnya diam di rumah pun kamu akan tetap hidup enak.”
“Alasanku sederhana saja. Aku hanya ingin
menggali potensi, mencari ilmu sebanyak yang aku bisa agar kelak ilmu
itu bermanfaat untuk diri dan orang lain. Aku ingin menjadi manusia yang
memahami hakikat penciptaannya di dunia ini. Itu saja, selebihnya
rejekipun akan mengalir seiring ilmu yang kita peroleh. Allah yang
mengatur segalanya, bukan manusia yang hanya mampu berteori”
“Hah...penjelasanmu terlalu sulit dicerna otak. Tidak masuk akal.
Pernyataan mereka seolah dua sisi mata
uang yang bersebrangan. Namun masih tetap dalam satu bingkai harapan.
Harapan meraih bintangnya sendiri-sendiri.
“Aku sudah bosan tinggal dengan orang
yang berpemikiran tradisional seperti kamu. Kalau bukan karena ayahmu
yang sering membantu keuangan keluargaku dan kalau bukan karena ibumu
yang mewanti-wanti agar aku menjagamu di sini, mana mungkin aku mau
sekamar dengan anak mamih sepertimu. Lama-lama aku bisa ketularan.
“Cukup Bungsu!. Jangan ungkit-ungkit itu
lagi. Aku mau kamu bersabar beberapa bulan lagi. Menunggu kita lulus.
Kamu tidak harus menunggu sampai cita-citaku menjadi guru terwujud.
Tidak selama itu.”
Belum sempat Rizal menutup kedua
bibirnya, suara benda terlempar sudah lebih dulu mengangetkannya. Buku
Motivasi Bisnis yang semalam dibaca Deni, ternyata telah melayang
menyentuh dinding. Deni merasa muak dengan sikap lunak yang ditunjukan
Rizal. Setiap kata-kata yang dilontarkan Deni berhasil ditepis oleh
rizal. Deni pun harus rela buku kebanggaan dan inspirasinya itu menjadi
korban amarahnya sendiri.
“Aku sudah bilang. Hapus nama bungsu dari
otakmu. Panggil aku Deni. Mengerti? Asal kamu tau saja. Aku benci pada
cita-citamu itu. Apa kamu lupa? Waktu SD kelas dua aku pernah dijewer
sampai telingaku lebam karena tidak mengerjakan PR. Saat aku menginjak
SMP kelas satu, aku harus merelakan rambutku dipotong seenaknya karena
rambutku sedikit panjang. Aku malu ditertawakan satu kelas bahkan satu
sekolah. Dan yang paling parah, sampai SMA pun aku itu masih
diberlakukan seenaknya. Kamu tau benar kejadiannya, mukaku merah
ditampar oleh guru sialan itu. Hanya karena aku nyanyi dan dianggap
menggangu kelas lain yang sedang belajar padahal aku nyanyi tidak
sendiri, kenapa hanya aku yang ditampar? Dimana posisi guru yang katanya
pahlawan tanpa tanda jasa? Semuanya falsehood”
“Tidak semua guru seperti itu. Kamu ingat
Pak Hasan? guru SD kita yang baik dan penyabar. Dia begitu
menyayangimu. Kamu dibelikannya alat tulis bahkan baju seragam dan tas.
Apa kamu lupa?” Satu lagi, menjadi guru adalah impianku, sama seperti
impianmu yang ingin menjadi pebisnis. Tidak ada seorang pun yang bisa
menghalangi”
Ketenangan yang terus ditampilkan Rizal
tak mampu meredakan emosi Deni. Seketika itu juga Deni melangkahkan kaki
menuju pintu. Dia berniat meninggalkan Rizal yang masih menatap layar
laptop. Deni merasakan marah yang begitu hebat. Lagi-lagi ia harus kalah
adu argumen oleh orang yang dianggapnya berpemikiran dangkal. Deni yang
biasanya menang dan berjaya ketika berdebat dengan teman-teman
kuliahnya. Deni yang begitu disegani karena opini-opininya yang tajam.
Akhirnya harus menyerah pada seorang Rizal yang dianggap tak lebih
pintar darinya.
Pintu kamar kost itu ditarik dengan
sekuat-kuatnya oleh Deni. Tentu saja suara benturan yang dihasilkan
begitu menggelegar. Di ruangan yang di dalamnya hanya ada Rizal terasa
begitu menggoncang. Kacapun bergetar namun tak pecah. Tembok tergoncang.
Dan tubuh Rizal pun ikut bereaksi. Sesaat Rizal terdiam. Tangannya
berpisah dengan keyboard. Matanya terpejam. Ada sesuatu yang
menusuk-nusuk kepalanya. Ia kesakitan. Apakah jarum-jarum ada di
otaknya? Atau mungkin paku? Rizal sungguh tak tau. Sejak kecil ia sering
merasakan sakit itu. Rasa sakit yang membuat dunia gelap. Rasa sakit
yang semakin menjadi setelah ia kuliah. Rasa sakit yang hanya dia
sendiri yang menanggung. Hanya dia sendiri yang merasakan. Seketika mata
Rizal terpejam. Ada bayangan sahabatnya di kaburnya penglihatan. Ada
senyuman hangat ibunya dalam samarnya pendengaran. Ada lambaian
cita-citanya di hilangnya kesadaran. Ada nama Tuhannya dalam lepasnya
sang udara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar