Senin, 02 Desember 2013

tulisan 13 , cerpen -sang mahasiswa

SANG MAHASISWA

Ia adalah seorang mahasiswa. Ia lahir di pinggiran kota Bandung. Telah tiga tahun ia mengenyam pendidikan di tengah ibu kota Jawa Barat, Bandung. Baginya Bandung adalah kota yang sudah tak istimewa lagi. Ia begitu terobsesi dengan ibu kota Indonesia, Jakarta. Hingga berulang kali ia meminta kepada orang tuanya agar bisa pindah kuliah ke Jakarta. Namun keinginannya itu harus terbentur akan kokohnya tekad orang tuanya yang inginkan ia menjadi seorang pengusaha hebat. Ia terlanjur dibekukan hatinya untuk mampu meraih impiannya hanyalah di Varis Van Java. Kebekuan hati yang telah di bentuk oleh orang tua dan lingkungannya. Dengan situasi yang seperti itu, telah memupuskan keinginannya untuk menuntut ilmu di Jakarta. Kota yang penuh sesak dengan milyarder-milyarder bertarap nasional maupun internasional. Kota yang dijejali manusia-manusia kardus. Manusia-manusia yang hanya mampu membuka telapak tangan. Manusia-manusia miskin ibu kota. Dan di kejamnya kota itu, sang mahasiswa telah memutuskan di dalam diri dan sanubarinya. Di tiap langkah dan desah nafasnya. Ia telah menjatuhkan pilihan untuk menjadi milyarder baru Indonesia, kendatipun waktu belum memihaknya, tekadnya tetap kuat.
Pagi itu kota Bandung masih diselimuti kabut tebal. Meskipun jam sudah menunjukan pukul enam, tidak serta merta menjadikan ibu kota Jawa Barat itu lebih terang. Hawa dingin yang disuguhkan Varis Van Java mampu menjadi alasan bagi para mahasiswa yang tengah bermalas-malasan di atas kasurnya dan dibalik selimutnya. Alasan mereka diperkuat dengan sebuah kata bernama “libur”. Hari itu memang hari minggu, hari dimana mahasiswa kebanyakan menghabiskan waktunya hanya untuk tidur seharian atau “membunuh” waktunya dengan jalan-jalan di Mall serta ada pula yang berlama-lama di telpon menyambung kata melalui udara bersama kekasih tercinta. Bahkan beberapa ada yang pulang kampung.
Di salah satu kost kota Bandung, Mahasiswa itu tinggal. Sebuah kost yang terbilang mewah bagi Mahasiswa yang materi orang tuanya tak berlimpah. Ayahnya seorang PNS yang bertugas di KUA Kecamatan yang memiliki sawah dan tanah yang cukup luas. Sang ayah bersikukuh mengharuskan anaknya kuliah jurusan Bisnis Manajemen di Universitas swasta terkemuka Bandung . Mahasiswa yang bernama Deni Bungsu Permana itu, sama sekali tidak berontak dengan jalan yang dibangun ayahnya, karena di aliran darahnya ada jiwa entrepreneurship sejati. Jiwa yang diperolehnya melalui bentukan orang tua, media, pengalaman, maupun yang didapatnya dari kampus.
Tempat kost yang telah tiga tahun ia tempati bangunannya terdiri dari dua lantai. Masing-masing lantai memiliki sepuluh kamar. Setiap kamar dihuni oleh dua orang mahasiswa. Dan mahasiswa yang sekamar dengan Deni adalah Muhamad Rizal.
Rizal memanggil Deni dengan sebutan Bungsu. Hal itu dikarenakan Deni adalah anak terakhir dikeluarganya. Anak bungsu dari tiga bersaudara. Deni dan Rizal telah lama saling mengenal. Mereka datang dari desa yang sama. Lebih dari itu, hari-hari mereka selama bertahun-tahun dihabiskan di SD, SMP, dan SMA yang sama pula. Namun demikian, ada perbedaan yang jauh dari cara pandang mereka. Bila Deni ingin menjadi seorang bisnisman hebat, maka lain halnya dengan Rizal yang bercita-cita menjadi seorang guru agama. Kini Rizal kuliah di sebuah Universitas Islam di Bandung. Dalam perbedaan itulah terjalin kebersamaan yang unik. Kebersamaan yang terjaga begitu lama. Begitu berliku. Begitu penuh kejutan. Benar-benar sarat pertentangan luar biasa.
Deni tengah berkutat dengan handphone-nya yang sejak subuh berdering. Bisnis pulsa yang ia geluti sembari kuliah memang sedang bersinar. Bersinar menerangi jiwa-jiwa muda nan bergejolak untuk memadu cinta bermodal pulsa. Bagi seseorang yang berjiwa bisnis seperti dirinya, peluang sekecil apapun adalah kesempatan yang tak ternilai dua kali. Selain berjualan pulsa, ia pun aktif menawarkan t-sert pada teman-teman kampus maupun teman kostnya. Begitulah deni, ia yakin dengan usaha yang keras maka hasil yang didapat pun akan setimpal dengan kerjanya. Ia yakin setelah lulus kuliah akan menjadi seseorang yang sukses. Fikirnya, pihak kampus telah menjamin untuknya bekerja di perusahaan bergengsi setelah ia lulus. Fikirnya lagi, beberapa tahun ia akan bekerja di sana, kemudian setelah pengalamannya cukup dan modalpun sudah di tangan, barulah impian besarnya diwujudkan. Menjadi pebisnis sukses. Itulah pemikiran deni, sebuah pemikiran yang sama sekali berbeda dengan orang yang ada di sebelahnya.
Dengan mata yang terfokus pada layar handphone. Tangan beradu dengan huruf dan angka. Deni masih sempat menggerakan mulutnya. Dari mulutnya keluar kata-kata yang sejak tadi tak terdengar di ruangan itu.
“Seperti aku dong Zal, hidup mandiri tanpa harus membebani orang tua”
Deni teramat bangga dengan prestasi yang diraihnya. Sebuah prestasi yang tak didapat oleh mahasiswa-mahasiswa lain yang ia kenal. Sebuah prestasi yang tak dapat dielakkan lagi, memang tujuan utama orang-orang kuliah. Prestasi mengumpulkan uang.
“Ya syukurlah Bungsu bisa hidup mandiri di sini. Tidak seperti aku yang masih mengandalkan kiriman orang tua. Aku belum bisa seperti kamu”
“Kamu bukan belum bisa, tapi belum mau. Kamu biasa hidup enak dari kecil. Ayahmu seorang pedagang hebat dan sukses. Sebenarnya aku heran pada ayahmu, dia tidak kuliah tapi kaya raya”
“Itu artinya kuliah bukanlah satu-satunya cara untuk kaya”
Mata Deni yang sebelumnya difokuskan pada layar handphone, kini dialihkan pada Rizal yang tengah serius bersahabat dengan laptopnya.
“Lalu apa tujuanmu menghabiskan uang orang tuamu untuk bayar kuliah, jika pada akhirnya uang itu tidak bisa dikembalikan? Apa dengan hanya menjadi guru semuanya bisa kembali? Sebenarnya diam di rumah pun kamu akan tetap hidup enak.”
“Alasanku sederhana saja. Aku hanya ingin menggali potensi, mencari ilmu sebanyak yang aku bisa agar kelak ilmu itu bermanfaat untuk diri dan orang lain. Aku ingin menjadi manusia yang memahami hakikat penciptaannya di dunia ini. Itu saja, selebihnya rejekipun akan mengalir seiring ilmu yang kita peroleh. Allah yang mengatur segalanya, bukan manusia yang hanya mampu berteori”
“Hah...penjelasanmu terlalu sulit dicerna otak. Tidak masuk akal.
Pernyataan mereka seolah dua sisi mata uang yang bersebrangan. Namun masih tetap dalam satu bingkai harapan. Harapan meraih bintangnya sendiri-sendiri.
“Aku sudah bosan tinggal dengan orang yang berpemikiran tradisional seperti kamu. Kalau bukan karena ayahmu yang sering membantu keuangan keluargaku dan kalau bukan karena ibumu yang mewanti-wanti agar aku menjagamu di sini, mana mungkin aku mau sekamar dengan anak mamih sepertimu. Lama-lama aku bisa ketularan.
“Cukup Bungsu!. Jangan ungkit-ungkit itu lagi. Aku mau kamu bersabar beberapa bulan lagi. Menunggu kita lulus. Kamu tidak harus menunggu sampai cita-citaku menjadi guru terwujud. Tidak selama itu.”
Belum sempat Rizal menutup kedua bibirnya, suara benda terlempar sudah lebih dulu mengangetkannya. Buku Motivasi Bisnis yang semalam dibaca Deni, ternyata telah melayang menyentuh dinding. Deni merasa muak dengan sikap lunak yang ditunjukan Rizal. Setiap kata-kata yang dilontarkan Deni berhasil ditepis oleh rizal. Deni pun harus rela buku kebanggaan dan inspirasinya itu menjadi korban amarahnya sendiri.
“Aku sudah bilang. Hapus nama bungsu dari otakmu. Panggil aku Deni. Mengerti? Asal kamu tau saja. Aku benci pada cita-citamu itu. Apa kamu lupa? Waktu SD kelas dua aku pernah dijewer sampai telingaku lebam karena tidak mengerjakan PR. Saat aku menginjak SMP kelas satu, aku harus merelakan rambutku dipotong seenaknya karena rambutku sedikit panjang. Aku malu ditertawakan satu kelas bahkan satu sekolah. Dan yang paling parah, sampai SMA pun aku itu masih diberlakukan seenaknya. Kamu tau benar kejadiannya, mukaku merah ditampar oleh guru sialan itu. Hanya karena aku nyanyi dan dianggap menggangu kelas lain yang sedang belajar padahal aku nyanyi tidak sendiri, kenapa hanya aku yang ditampar? Dimana posisi guru yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa? Semuanya falsehood
“Tidak semua guru seperti itu. Kamu ingat Pak Hasan? guru SD kita yang baik dan penyabar. Dia begitu menyayangimu. Kamu dibelikannya alat tulis bahkan baju seragam dan tas. Apa kamu lupa?” Satu lagi, menjadi guru adalah impianku, sama seperti impianmu yang ingin menjadi pebisnis. Tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi”
Ketenangan yang terus ditampilkan Rizal tak mampu meredakan emosi Deni. Seketika itu juga Deni melangkahkan kaki menuju pintu. Dia berniat meninggalkan Rizal yang masih menatap layar laptop. Deni merasakan marah yang begitu hebat. Lagi-lagi ia harus kalah adu argumen oleh orang yang dianggapnya berpemikiran dangkal. Deni yang biasanya menang dan berjaya ketika berdebat dengan teman-teman kuliahnya. Deni yang begitu disegani karena opini-opininya yang tajam. Akhirnya harus menyerah pada seorang Rizal yang dianggap tak lebih pintar darinya.
Pintu kamar kost itu ditarik dengan sekuat-kuatnya oleh Deni. Tentu saja suara benturan yang dihasilkan begitu menggelegar. Di ruangan yang di dalamnya hanya ada Rizal terasa begitu menggoncang. Kacapun bergetar namun tak pecah. Tembok tergoncang. Dan tubuh Rizal pun ikut bereaksi. Sesaat Rizal terdiam. Tangannya berpisah dengan keyboard. Matanya terpejam. Ada sesuatu yang menusuk-nusuk kepalanya. Ia kesakitan. Apakah jarum-jarum ada di otaknya? Atau mungkin paku? Rizal sungguh tak tau. Sejak kecil ia sering merasakan sakit itu. Rasa sakit yang membuat dunia gelap. Rasa sakit yang semakin menjadi setelah ia kuliah. Rasa sakit yang hanya dia sendiri yang menanggung. Hanya dia sendiri yang merasakan. Seketika mata Rizal terpejam. Ada bayangan sahabatnya di kaburnya penglihatan. Ada senyuman hangat ibunya dalam samarnya pendengaran. Ada lambaian cita-citanya di hilangnya kesadaran. Ada nama Tuhannya dalam lepasnya sang udara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar